Ahlan Wasahlan

Sabtu, 31 Desember 2011

:::. Bila Aku Jatuh Cinta .:::


"Ya… aku jatuh cinta". Tanpa
ragu-ragu kalimat itu keluar dari mulutku. Menampar segala keangkuhan.
Menenggelamkan segala kesombongan. Menaklukan kepongahan diri sendiri..
sahabatku terperangah, tidak menduga aku jatuh cinta. Cinta yang tulus.
Cinta yang bening. Cinta yang apa adanya. Cinta yang tanpa syarat. Cinta
yang akan memberikan apa yang ada di hidupku demi mendapatkan cintanya.

"Bagaimana bisa engkau mencintainya?
Siapakah yang telah membuat engkau mencintainya?
Apa yang membuat engkau mencintainya?
Ia terus mengejarku dengan pertanyaan yang menunjukkan kebingungannya.
"Kepada yang …..". aku berhenti "Aku selalu jatuh cinta" lanjutku.
"Bukankah dia bukan orang kita. bukankah dia diluar golongan kita?". Ia masih tidak terima.

"saudaraku…
ketika lahir engkau hanya bernama bayi manusia. Tidak yang lainya, lalu
kedua orang tuamu ‘yuhawidaanika’, ‘wa yunasiraanika’,’ wa
yumajisaanika’. Bersukurlah karena engkau terlahir dari rahim seorang
muslimah, hingga tidak perlu susah mencari hidayah. Semenjak lahir di
telingamu telah bergema ‘ayat-ayat Allah’. Ayo nak kita meraih
‘prosperity’, meraih kesejahteraan, meraih ‘kesuksesan’.
Jangan
engkau duhai saudaraku mempersulit diri sendiri untuk meraih kesuksesan
dalam hidupmu dengan membatasi mengambil ilmu syar`i yang wajib dituntut
semua orang muslim.Memandang bahwa pendapat orang lain salah tanpa
mengujinya terlebih dahulu,tanpa mencari dalil terlebih dahulu,lalu
meyakininya …” Aku memandangnya. Mencari di wajahnya ‘reaksi’.

"kamu mencintainya, akan setia selalu kepadanya!! sudahkah katamu kau pikirkan.
Kata
itu berbahaya! Kata yang akan menyeret kamu untuk menganggumi apa saja
yang ada padanya. Dan bisa menjerumuskan dirimu untuk mengikuti
perintahnya meskipun perintah itu tidak engkau senangi atau bahkan sesat
dan menyesatkan engkau”. Ia masih membantah.

“Saudaraku… aku
setuju dengan pendapatmu. Bahwa kekaguman atas seseorang telah banyak
menyesatkan saudara kita yang lain. Terjerumus kepada ketundukan untuk
mengambil semua pendapat dari orang yang ia kagumi itu, tanpa
menyaringnya.
Asal perkataaan itu dari orang yang ia jatuh cinta
kepadanya – secara ke ilmuan – ia langsung ambil dan adobsi menjadi
bagian dari pendapatnya. Meskipun pendapat itu menyesatkan banyak
pemikiran orang yang jauh lebih benar dari orang yang ia cintainya itu.
Lalu menyebarkan pendapat yang salah itu ke tengah masyarakat.”

aku
kira banyak yang bisa menjadi contoh begitu banyak kaum muda muslim
Indonesia menjadikan mereka itu idola. Mengikuti seluruh pendapatnya
tanpa mengujinya dengan kritis. Menyebarkan Hermeneutikanya Nasr Hamid
dalam mengkaji al-qur’an untuk menggantikan metode tafsir salafus sholeh
kita. Yang akhirnya membawa mereka untuk mentekstualkan al-qur’an,
bahwa al-Qur’an hanyalah ‘Mumtaz tsaqofi’ atau hasil budaya manusia.
Bahkan salah seorang pengarang dalam - bukunya - sampai berani menyuruh
orang agar tidak menganggap al-Qur’an itu sakral. sebab al-Qur’an itu
hanyalah trik yang dibuat orang orang quraisy dengan tujuan agar
orang-orang Quraisy itu bisa menguasai zajirah Arab”.


“Mereka
yang mencintai habis kepada tokoh yang mereka kagumi kepandaiannya itu.
Dan tidak menyisakan cintanya kepada ulama’-Ulama' salaf dengan segala
keagungan kepribadian dan kebesaran karya tulisnya. Buta matanya – tidak
lagi ia gunakan untuk melihat bagaimana syahsiah tokohnya itu dibanding
dengan ahklak ulama’ ulama’ salaf dahulu. Sehingga Imam malik, imam
hanafi, Imam assyafi’I dan imam hambali tidak lagi dipakai. Dan
dimasukan lemari es lalu dikunci. Sudah mengarkeologi. sudah tidak
mungkin bisa diterapkan lagi untuk menyelesaikan permasalahan
kontemporer ummat Islam. Mereka bilang, bahwa ummat Islam akan tetap
terpuruk bahkan mati, jika tetap berada pada kesadaran masa lalu”

“saudaraku…
mereka itu generasi bingung! Generasi yang sudah kesusahan untuk
menemukan kebenaran. Kepalanya sudah terkontiminasi dengan filsafat.
Sehingga apa saja ingin mereka bongkar, termasuk syari’ah yang secara
nash merupakan kebenaran pun tidak lepas dari pembongkaran mereka.
Kepala mereka dipenuhi relativisme. Dengar aja mereka bicara... lalu
hitung berapa kali kalimat relative itu keluar dari mulutnya?"

“Ah..
itukan relative. Tergantung dari sisi mana anda melihat”, “Janganlah
suka menyalahkan, menghukumi, memfatwakan orang lain sesat dan lain
sebagainya. Siapa sebenarnya yang sesat si Aatau si B. Bisa jadi yang
sesat itu si A karena telah menghukumi orang lain dengan nama TUHAN. Apa
betul yang di fatwakan si A adalah apa yang diinginkan TUHAN. Siapa
yang berhak mengklaim paling tahu apa yang diinginkan oleh TUHAN.
Jangan-jangan si B lah yang betul dan fatwa si A yang sesat. Hargailah
kebebasan orang untuk mengekspresikan cara ia mencintai TUHANnya, tidak
usahlah saling menyesatkan”.

Lihat saudaraku.. betapa semuanya menjadi relative, tidak ada kebenaran yang bisa mereka pegang". Aku mengatur nafas.
berbicara tentang mereka ini terlalu menguras emosi.
sebenarnya
sih aku ingin berlatih untuk mencintai dan membenci, sekedarnya.
Secukupnya, seperlunya, mencintai dengan cinta yang sederhana.
membenci dengan kebencian yang sederhana.
namun rupanya untuk kelompok bingung ini, emosiku sulit terkontrol nich...!!
setelah kunikmati ekspresi saudara bandelku ini, aku teruskan penjelaskanku!

“kalau
kemudian aku mengatakan bahwa ‘aku mencintai Dia dan selalu akan
menuruti apa yang diperintahkan dan bahkan aku akan berusaha selalu
tidak melanggar larangannya . Masak kamu tidak percaya padaku..
bahwa
dalam hatiku ini ada cinta yang begitu menggebu . Insya Allah,
jelek-jelek begini saudaramu ini, bisalah membedakan mana yang baik,
mana yang tidak. Aku nih bukan termasuk ‘kelompok bingung’ mereka..
yakinlah bahwa kalimatku itu bisa aku pertanggung jawabkan insya Allah,
duh saudara … percayalah padaku..”

“Aku tidak percaya..”sahut saudaraku

Saudaraku,pernahkah engkau membaca atau mendengar sebuah bait syair ini,

``Tidak ada di dunia ini yang lebih sengsara daripada seorang pencinta…
Meskipun ia merasakan manisnya cinta…
Kamu lihat dia menangis di setiap waktu…
Karena takut berpisah atau karena rindu…

Ia menangis karena rindu akan jauhnya sang kekasih…
Namun, bila kekasihnya dekat…
Ia menangis karena takut berpisah…

Matanya selalu menghangat ketika terjadi perpisahan…
Matanya pun berkaca-kaca ketika pertemuan itu tiba…
Pelakunya memang merasakan kenikmatan…
Namun, sebenarnya…
Kasmaran itu merupakan siksa yang paling besar di hati…

Saudaraku itulah perkataan Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah dalam salah satu kitab beliau,
Tapi
saudaraku,percayalah, cintaku padanya tidaklah akan membawa
kesengsaraan,tidak akan membuat sakit hati dan aku sangat yakin bahwa
aku tidak salah jatuh cinta.
Dan aku juga yakin ,bahwa Dia tidak akan menyia-nyiakan cintaku.
Bahkan
aku sangat yakin dengan cinta dan kasih sayangnya,dan bahkan aku berani
bersumpah demi jiwaku yang ada di genggamaNya,janji-janji Dia semua
pasti akan di tepati.

Akhirnya dengan ekspresi wajah yang masih
menunjukkan kebingungannya,dia Cuma bisa mengangguk-anggukan kepalanya
.maka saudaraku izinkan aku untuk mengambil jeda walau sejenak untuk
membuktikan cintaku padaNya,aku akan berusaha melaksanakan perintahNya.
Saudaraku
maafkan aku bila suatu hari nanti aku lama tidak engkau temui,mungkin
engkau akan bertanya –tanya dalam hatimu,tapi saudaraku ,tidak usah
engkau cemaskan diri ini,insyallah aku akan baik-baik saja.
Saudaraku
,aku hanya mengharap doa mu semoga aku dapat meraih keridhoan dan
cintaNYa,dan di sini aku juga akan selalu berdoa untukmu saudaraku
semoga engkau juga akan seperti aku,mengharap ridho dan cintaNYa.

Setelah semua aku jelaskan akhirnya saudaraku ,engkau faham akan cintaku.
Kepada siapa sebenarnya cinta ini aku tambatkan.ya aku yakin engkau akan mengerti.
Dan
aku yakin engkau juga merasakan cinta yang sama denganku,bukan kah
begitu saudaraku?.Sehingga aku yakin bahwa aku tidak akan sengsara,dan
aku tidak akan kecewa dan bahkan tidak akan sakit hati.

Maka saudaraku marilah kita buktikan cinta kita kepada NYa
Ayo kita berlomba-lomba siapa yang paling baik pembuktian cintanya.
Semoga ,aku,engkau,dan kita semua akan di pertemukan di kautsarnya.
Amiin

Wallahu a’lam. Subahanaka allahumma wa bihamdika asyhadu alla ila hailla anta astaghfiruka wa atuubu ilaika.

Konflik itu Indah, Jika...



Bismillahirr Rahmanirr Rahim ...

Pendamping adalah tentang mendampingi yang berarti mengerti, melayani dan menjadi pelengkap serta penguat. Demikianlah peran penting seorang wanita dalam perannya sebagai istri. Tidak mudah memang, karena disisi lain seorang istri adalah juga seorang manusia, yang memiliki keinginan, harapan dan kebutuhan pribadi. Namun dalam rangka perannya dalam menjadi seorang istri yang harus bersinggungan dengan sesosok manusia yang ditakdirkan menjadi pemimpinnya, akhirnya terkadang hal ini memicu perselisihan.Hal ini dikarenakan, sang pemimpin atau suami, nyatanya juga memiliki sepaket sifat kemanusiaan sama seperti dirinya. Tapi poin tambahannya adalah, pemimpin ini memiliki hak kepemimpinan atas diri wanita tersebut.

Memang tidaklah mudah menghadapi kenyatan bagi sang wanita, bahwa dia harus menerima dirinya adalah seseorang yang harus dipimpin. apalagi jika ditambah ternyata sang istri ini adalah dibakati oleh sifat yang tidak mau kalah.

Tapi....

Bukankah pernikahan bukanlah tentang kalah dan menang, walaupun perannya adalah sebagai pemimpin ataupun yang dipimpin. Pernikahan adalah ladang amal yang dimana jikapun salah satu pihak harus mengalah demi kebaikan dan kedamaian semua, namun percayalah, tidak akan tersia- sia semua usaha itu. Kebesaran jiwa kita justru akan diuji, dan kualitas dari sebuah hati akan meningkat menuju yang lebih termuliakan.

Memanglah jika ego sudah turut campur dalam penyelesaian sebuah masalah, maka tinggallah menunggu saat kehancuran sebuah rumah tangga. Ya, itu hanya soal waktu saja.

Maka, cobalah rendahkan suara sejenak, dan lembutkan hati yang menggebu penuh emosi, kemudian sadarilah. Sebenarnya untuk apa anda menikah? apakah hanya sekedar untuk menghabiskan waktu dalam pertengkaran tanpa ujung, atau ladang perealisasian besarnya ego anda untuk menindas seseorang yang kemudian mau mengikuti dan membenarkan apapun langkah dan kemauan anda. Ataukah untuk beribadah kepada Allah?.

Jika memang jawaban anda adalah menikah bertujuan untuk ibadah, maka tanyalah pada diri sendiri tentang sebuah pertanyaan, apakah ada ajaran Allah yang memerintahkan anda untuk menjadi `pemimpin` yang menindas dan menyakiti `rakyat`nya ?. Dan atau jika anda adalah seorang istri, apakah ada perintah Allah yang menganjurkan anda untuk durhaka kepada suami?

Maka sadarilah, pernikahan adalah bukan untuk sebuah kesakitan, namun sarana menuju sebuah melengkapi separuh jiwa anda yang terserak. Dan suami anda adalah cerminan dari diri anda. Allah yang menyatukan sepasang suami istri, jadi pastilah terkandung maksud Allah untuk membaikkan kedua orang tersebut. Dan ini hanya berlaku bagi pribadi yang merasa tahu diri dengan kekurangannya. Dan hal ini tidak berlaku bagi siapapun yang tetap menganggap dirinya sebagai seseorang yang selalu benar. Allah tahu ukuran kita, dan cara terbaik membaikkan diri kita, dan lewat pasangan kita lah, kita belajar kebaikan dan cara terbaik membaikkan diri kita.

Ketika ternyata sang suami adalah seorang pemarah, maka disanalah anda dilatih oleh Allah untuk menjadi pribadi yang sabar. Atau jika ternyata sang istri adalah seorang yang susah diatur, maka disanalah skenario cantik Allah untuk melatih anda menjadi sosok pemimpin yang bijak namun tegas. Mungkin banyak dari kita yang tidak tahu kebaikan sebuah sifat yang baik, sampai akhirnya Allah mengirim pasangan kita tersebut lengkap dengan apapun kekurangan dan kelebihannya. Maka apapun dan bagaimanapun sikap dan sifat pasangan anda sekarang ini, anda patutlah berterima kasih atas pelajaran yang menjadikan anda lebih baik sekarang ini.

Dan jika mungkin konflik itu telah menjadi bagian dari hari- hari anda, karena susahnya pelepasan sebuah ego, kepentingan dan kesukaan masing- masing, maka maafkanlah. Maafkanlah diri anda yang ternyata begitu keras, lantas ikuti dengan action untuk melembutkan hati anda. Dan maafkanlah pasangan anda, karena jika anda tidak belajar untuk memaafkan, maka susah bagi anda untuk mengerti dan memahami kedalam sebuah ikhlas. Ikhlas yang hanya karena Allah. Bukankah anda menikah untuk tujuan beribadah kepada Allah?.

Hindarilah konflik dengan pasangan anda, namun bila akhirnya harus terjadi, maka indahkanlah. Indahkanlah dengan kesadaran atas sebuah pembelajaran berharga yang terpetik darinya. Ya, paling tidak satu lagi daftar kekurangan masing- masing telah sama-sama terkuak dan terperbaiki. InsyaAllah.

Salam Santun Ukhuwah Karena-NYA

Jumat, 30 Desember 2011

# ;; Beberapa PENYAKIT HATI ::#


Gampang berprasangka buruk
senang berdebat
mudah tersinggung (emosian)
menggampangkan janji dengan orang (janji manis, omdo)
Malas
pelit
iri hati
Gibhah
banyak ketawa
mengumbar sumpah dengan nama Allah
tidak semangat dalam beribadah (lalai)
semangatnya hanya dalam urusan perut dan di bawah perut (=duit dan kelamin)
tidak suka mengoreksi diri
apalagi dinasehati.
dan lain sebagainya...

Cerita Seorang Guru


Menjadi guru, bukanlah pekerjaan mudah, Didalamnya, dituntut pengabdian, dan juga ketekunan. Harus ada pula kesabaran, dan welas asih dalam menyampaikan pelajaran. Sebab, sejatinya, guru bukan hanya mendidik, tapi juga mengajarkan. Hanya orang-orang tertentu saja yang mampu menjalankannya.

Menjadi guru juga bukan sesuatu yang gampang.Apalagi, menjadi guru bagi anak-anak yang mempunyai “keistimewaan”. Dan saya, merasa beruntung sekali dapat menjadi guru mereka, walau cuma dalam beberapa jam saja. Ada kenikmatan tersendiri, berada di tengah anak-anak dengan latar belakang Cerebral Palsy (sindroma gangguan otak belakang).

Suatu ketika, saya diminta untuk mendampingi seorang guru, di sebuah kelas khusus bagi penyandang cacat. Kelas itu, disebut dengan kelas persiapan, sebuah kelas yang berada dalam tingkatan awal di YPAC Jakarta. Lazimnya, anak-anak disana berumur antara 9-12 tahun,tapi kemampuan mereka setara dengan anak berusia 4-5 tahun, atau kelas 0 kecil.

Saat hadir disana, kelas tampak ramai. Mereka rupanya sedang bermain susun bentuk dan warna. Ada teriak-teriakan ganjil yang parau, dan hentakan-hentakan kepala yang konstan dari mereka. Ada pula tangan-tangan yang kaku, yang sedang menyusun keping-keping diagram. Disana-sini terserak mainan kayu dan plastik. Riuh. Bangku-bangku khusus berderak-derak, bergesek dengan kursi roda sebagian anak yang beradu dengan lantai.

Saya merasa canggung dengan semua itu.Na mun, perasaan itu hilang, saat melihat seorang guru yang tampak begitu telaten menemani anak-anak disana. “Mari masuk, duduk sini dekat Si Abang, dia makin pinter lho bikin huruf,” begitu panggilnya kepada saya. Saya berjalan, melewati anak-anak yang masih sibuk dengan tugas merekasa mbil bermain. Ah benar saja, si Abang, anak berusia 11 tahun yang mengalami Cerebral Palsy dengan pembesaran kepala itu, tampak tersenyum kepada saya. Badannya melonjak-lonjak, tangannya memanggil-manggil seakan ingin pamer dengan kepandaiannya menyusun huruf.

Subhanallah, si Abang kembali melonjak-lonjak. Saya kaget. Saya tersenyum. Dia pun juga tergelak tertawa. Tak lama, kami pun mulai akrab. Dia tak malu lagi dibantu menyusun angka dan huruf. Susun-tempel-susun-tempel,begitu yang kami lakukan. Ah, saya mulai menikmati pekerjaan ini. Dia pun kini tampak bergayut di tangan saya. Tanpa terasa, saya mengelus kepalanya dan mendekatkannya ke dada. Terasa damai dan hangat.Se mentara di sudut lain, sang Ibu guru tetap sabar sekali menemani semua disana. Dituntunnya tangan anak-anak itu untuk meniti susunan-susunan gambar. Dibimbingnya setiap jemari dengan tekun, sambil sesekali mengajak mereka tersenyum. Tangannya tak henti mengusap lembut ujung-ujung jemari lemah itu. Namun, tak pernah ada keluh, dan marah yang saya dengar.

Waktu berjalan begitu cepat. Dan kini, waktunya untuk pulang. Setelah membereskan beberapa permainan,

anak-anak pun bersiap di bangku masing-masing. Dduh, damai sekali melihat anak-anak itu bersiap dengan posisi serapih-rapihnya. Tangan yang bersedekap diatas meja,dengan tatapan polos kearah depan, saya yakin, membuat setiap orang tersenyum. Ibu guru pun mulai memimpin doa, memimpin setiap anak untuk mengatupkan mata dan memanjatkan harap kepada Tuhan.

Damai. Damai sekali mata-mata yang mengatup itu. Teduh. Teduh sekali melihat mata mereka semua terpejam.

Empat jam sudah saya bersama “malaikat-malaikat” kecil itu. Lelah dan penat yang saya rasakan, tampak tak berarti dibanding dengan pengalaman batin yang saya alami. Kini, mereka bergerak, berbaris menuju pintu keluar. Tampak satu persatu kursi roda bergerak menuju ke arah saya. Ddduh, ada apa ini?

Lagi-lagi saya terharu. Setibanya di depan saya, mereka semua terdiam, mengisyaratkan untuk mencium tangan. Ya, mereka mencium tangan saya,sa mbil berkata, “Selamat siang Pak Guru..” Ah, perkataan yang tulus yang membuat saya melambung. Pak guru…Pak Guru, begitu ucap mereka satu persatu. Kursi roda mereka berderak-derak setiap kali mereka mengayuhnya menuju ke arah saya. Derak-derak itu kembali membuat saya terharu, membayangkan usaha mereka untuk sekedar mencium tangan saya.

Anak yang terakhir telah mencium tangan saya.Kini, tatapan saya bergerak ke samping, ke arah punggung anak-anak yang berjalan ke pintu keluar. Dalam diam saya berucap, “..selamat jalan anak-anak, selamat jalan malaikat-malaikat kecilku…” Saya membiarkan airmata yang menetes di sela-sela kelopak. Saya biarkan bulir itu jatuh, untuk melukiskan perasaan haru dan bangga saya.Bangga kepada perjuangan mereka, dan juga haru pada semangat yang mereka punya.

***

Teman, menjadi guru bukan pekerjaan mentereng. Menjadi gurujuga bukan pekerjaan yang gemerlap. Tak ada kerlap-kerlip lampu sorot yang memancar,juga pendar-pendar cahaya setiap kali guru-guru itu sedang membaktikan diri.Sebab mereka memang bukan para pesohor, bukan pula bintang panggung.

Namun, ada sesuatu yang mulia disana. Pada guru lah ada kerlap-kerlip cahaya

kebajikan dalam setiap nilai yang mereka ajarkan. Lewat guru lah memancar pendar-pendar sinar keikhlasan dan ketulusan pada kerja yang mereka lakukan. Merekalah sumber cahaya-cahaya itu, yang menyinari setiap hati anak-anak didik mereka.

Dari gurulah kita belajar mengeja kata dan kalimat. Pada gurulah kita belajar lamat-lamat bahasa dunia. Lewat guru, kita belajar budi pekerti, belajar mengasah hati, dan menyelami nurani. Lewat guru pula kita mengerti tentang banyak hal-hal yang tak kita pahami sebelumnya. Tak berlebihankah jika kita menyebutnya sebagai pekerjaan yang mulia?

Teman, jika ingin merasakan pengalaman batin yang berbeda, cobalah menjadi guru. Rasakan kenikmatan saat setiap anak-anak itu memanggil Anda dengan sebutan itu, dan biarkan mata penuh perhatian itu memenuhi hati Anda. Ada sesuatu yang berbeda disana. Cobalah. Rasakan.

music